#Cuit 4: Sedekah Membaur dan Mendaur
Setelah lama mencicipi jalan pintas perjuangan, aku sedikit mengerti bahwa berjuang melalui jalan pintas, selain menyalahi aturan, juga mengurangi nikmatnya saat kesandung, keseleo, nyungsep, dan lainnya. Padahal, tahapan-tahapan proses penderitaan itulah yang akan menakar seberapa nikmat perjalanan kita. Maka, jikalau pintasan perjuangan itu berhasil, hanya akan mencetak sosok-sosok kurang tahan tempa, yang lahir prematur.
Sedekah Membaur
Dalam secangkir kopi, ada zat pelarut dan terlarut. Air sebagai zat pelarut dan bubuk kopi zat terlarutnya. Dalam prosesnya menjadi larutan, biji kopi perlu di proses sedemikian rupa. Juga; air yang harus direbus dengan sekian derajat Celcius. Baru, jadilah secangkir kopi. Proses membaurnya bubuk kopi dengan air itulah yang disebut larutan kopi. Tinggal memilih, mau jadi air apa bubuk kopi. Kalau jadi bubuk kopi, namamu akan dipakai untuk labeling larutan itu. Sedangkan, jika memosisikan sebagai air, maka harus siap merelakan diri untuk sedekah seiklhas-ikhlasnya. Air ditambah bubuk kopi, disebut kopi; air ditambah kunyit, namanya jamu kunyit; air ditambah daun teh, namanya teh. Air harus siap untuk puasa dipermukaan. Kira-kira seperti itulah konsep sedekah dalam membaur.
Sedekah Mendaur
Kebaikan akan membuahkan kebaikan dan begitupun sebaliknya. Kalau boleh jujur, semua orang tahu tentang hal ini. Bahkan, semua orang secara naluri sebenarnya tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi pengetahuan tidak selalu meresap bersama kesadaran yang bersifat terus-menerus. Sehingga, berkemungkinan untuk lupa pada titik-titik tertentu. Yang kita usahakan, sebagai mahluk pelupa, adalah bagaimana titik-titik lupa itu berkurang. Kalau hilang, itu keniscayaan.
Poin utamanya, pengetahuan harus selalu kita daur ulang. Namanya mendaur ulang, bukan berarti selalu menjadi barang baru. Bisa saja tetap menjadi barang lama, hanya saja bisa berbentuk dan berpenampilan seperti baru, baik dalam kuantitas maupun kualitas pemahamannya. Di situ sisi dinamis dari pengetahuan berdasarkan eksistensinya dalam diri manusia.
Jangan dibilang ketika melakukan hal buruk orang sedang lupa dengan kebaikan. Tidak. Problemnya bukan soal tahu-tidak tahu tentang baik-buruk, tapi keberanian mengambil sikap untuk tidak berbuat buruk. Misalnya Maling, dia akan selalu hati-hati karena sadar sedang berbuat yang tidak baik, dan sesuatu yang tidak baik itu dibenci banyak orang. Maka, problem dari Maling adalah ketidakberaniannya untuk memutuskan berhenti mencuri.
Sedekah mendaur hanyalah istilah untuk mewakili proses re-charging pengetahuan tanpa embel-embel biar ini-biar itu. Tanpa embel-embel bukan berarti tidak punya tujuan. Kan yang menjadi penyakit sekarang, kita membuat batasan sendiri terhadap kebaikan. Misalnya, kita bekerja tujuannya mendapat bayaran; sekolah tujuannya biar pinter. Embel-embel itu harus segera kita singkirkan. Kita daur ulang pola pikir: bahwa jika bekerja dengan baik, tanpa minta bayaran, pasti dapat bayaran; bahwa jika sekolah dengan baik, tanpa keinginan untuk pintar, pasti bisa pintar. Itu yang di maksud sadar terhadap hukum sebab-akibat. Yang melulu berorientasi pada hasil, berbahaya terhadap manipulasi proses 'sebab'. Misalnya karena tidak kaya-kaya, padahal sudah jungkir-balik bekerja, akhirnya korupsi. Hal itu disebabkan karena orientasinya hasil, bukan usaha sebaik mungkin dalam prosesnya.
Bersedekah dengan membaur seperti air, mendaur ulang pengetahuan dengan tanpa berorientasi pada hasil. Ini tentang keberanian untuk tidak berbuat buruk, bukan tentang tahu-tidaknya baik-buruk.
Em Ruddy
Bangkalan, 10 Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar