Obrolan Warung
Warung Kopi Malem Wingi
Kang Ifrit mulai berjalan menuju tempat nongkrong reyot yg biasa didatanginya bersama Cak Murokab, Kang Jahil, dan perewangan - perewangan yang tak pernah digajinya. Tak digaji bukan karena dia tak mampu membayar tapi memang para perewangan tersebut tidak pernah bekerja. Mereka tidak bekerja juga bukan karena malas tapi memang jadi perewangan untuk ongkang - ongkong alias nganggur.
Tempat nongkrong itu merupakan tempat bintang lima idaman kang Ifrit dan kawan - kawannya. Bukan karena keindahan atau pegawainya yg rama lagi cantik sperti bidadari, tapi karena kantong Kang Ifrit hanya mampu duduk disitu.
"Ah, gak papa nongkrong disini. Daripada nongkrong di kafe sebelah. Udah mahal gak boleh jogetan lagi, kata pelayan sih ganggu yang lain yang lagi kerja. Sungguh tidak ada kebebasan disana" Cibir kang Ifrit menghibur hati kawan - kawan sejabatannya.
Sambil ngacung-ne tangan Kang Jahil pesen kepegawai warung.
"Mbakyu, pesen kopi siji"
"Loh, kok siji kang wonge kan akeh?"
"Yowes, pesen limo mbk tapi duwik'e keri ya? Aq sek gorong gajian ek"
"Kyok we kerjo ae Kang"
Cak Murokab mendadak kesurupan. Tangannya sendakep, kakinya bersila dan muncul omongan gladrahnya.
"Aku iki rene ora goleki sopo - sopo lan opo - opo. Aku rene mergo pengen rene. Dene ndek kene onok kopine yo gak popo"
"Woalah, wong edan. Gerek muni utang kopi ek dadak akting kesurupan. Koyok Setan istana ae lakonmu" Kang Ifrit nyaut.
Tapi disini sebenarnya Kang Ifrit dan kawan - kawan sejabatannya akan membicarakan sesuatu yang serius. Bukan kopi, bukan rokok, apalagi kafe dan pelayan cantiknya. Pembicaraan malam ini akan mengantarkan mereka manusia yg sedikit lebih berguna bagi orang lain sejabatannya.
Kalimat pembuka yang digunakan malam itu adalah " Kacang ora mung lali kulite nanging lali karo lanjaran lan seng nandur dewek'e"
(Tulisan selanjute sesok, sak iki tang ngaret disek)
Kang Ifrit mulai berjalan menuju tempat nongkrong reyot yg biasa didatanginya bersama Cak Murokab, Kang Jahil, dan perewangan - perewangan yang tak pernah digajinya. Tak digaji bukan karena dia tak mampu membayar tapi memang para perewangan tersebut tidak pernah bekerja. Mereka tidak bekerja juga bukan karena malas tapi memang jadi perewangan untuk ongkang - ongkong alias nganggur.
Tempat nongkrong itu merupakan tempat bintang lima idaman kang Ifrit dan kawan - kawannya. Bukan karena keindahan atau pegawainya yg rama lagi cantik sperti bidadari, tapi karena kantong Kang Ifrit hanya mampu duduk disitu.
"Ah, gak papa nongkrong disini. Daripada nongkrong di kafe sebelah. Udah mahal gak boleh jogetan lagi, kata pelayan sih ganggu yang lain yang lagi kerja. Sungguh tidak ada kebebasan disana" Cibir kang Ifrit menghibur hati kawan - kawan sejabatannya.
Sambil ngacung-ne tangan Kang Jahil pesen kepegawai warung.
"Mbakyu, pesen kopi siji"
"Loh, kok siji kang wonge kan akeh?"
"Yowes, pesen limo mbk tapi duwik'e keri ya? Aq sek gorong gajian ek"
"Kyok we kerjo ae Kang"
Cak Murokab mendadak kesurupan. Tangannya sendakep, kakinya bersila dan muncul omongan gladrahnya.
"Aku iki rene ora goleki sopo - sopo lan opo - opo. Aku rene mergo pengen rene. Dene ndek kene onok kopine yo gak popo"
"Woalah, wong edan. Gerek muni utang kopi ek dadak akting kesurupan. Koyok Setan istana ae lakonmu" Kang Ifrit nyaut.
Tapi disini sebenarnya Kang Ifrit dan kawan - kawan sejabatannya akan membicarakan sesuatu yang serius. Bukan kopi, bukan rokok, apalagi kafe dan pelayan cantiknya. Pembicaraan malam ini akan mengantarkan mereka manusia yg sedikit lebih berguna bagi orang lain sejabatannya.
Kalimat pembuka yang digunakan malam itu adalah " Kacang ora mung lali kulite nanging lali karo lanjaran lan seng nandur dewek'e"
(Tulisan selanjute sesok, sak iki tang ngaret disek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar