Breaking

Angkasa membumi bersama cahaya

Seperti kerlipan bintang yang di puja-puja, aku bukan bintang, bulan dan matahari. Puja-puji tergantung sisi pandang siapa yang memandang dan darimana berangkaat memandangnya.

Seperti hujan yang tiba-tiba muncul, kata WS Rendra, dia bertanya, "Maksud sodara untuk siapa?"

Kadang, pertanyaan itu menjadi dua rupa: 1) perhatian dan 2) sindiran. Lagi, semua tergantung sisi, sudut dan cara pandangnya.

Bintang tak pernah menyampaikan cahayanya ke Bumi. Tak semua orang suka dengan bintang. Pun pula pada bulan dan matahari. Dan aku, bintang, bulan dan matahari hanya pemanis kata. Begitulah nasib bunga-bunga angkasa. Mereka tak menolak itu, dan di caci-maki pun tak menjadi apa. Formula luarbiasa itu kusadari dengan agak linglung. Dalam senyap, desiran air pantai datang bersama angin rindu, berkata dia, "Angkasa punya tinggi yang tak meninggi. Pertiwi adalah telapak bakti dan budi. Engkau yang masih merasakan kaki, mengangap mata, dan sedikit ruang dalam hati, tak usah heran dengan bola-bola yang menggelinding di bumi pertiwi ini. Pemain-pemainnya bukanlah pemain bola. Bahkan, saat menendang bola, mereka pun lupa kalau sedang menyudutkan bola di sudut-sudut muram."

Desiran itu menyibak ketakutan, menjadi alunan rasa yang penuh kenikmatan. Tambahnya, engkau harus mengalah. Bunuh dirilah dari bunuh diri, dan hiduplah dengan kematian. Selain kematian, mulai sekarang, tak perlu engkau bela mati-matian.

Dari tengah samudra muncul cahaya. Putih kehijuau-hijauan. Mendekat. Mendekat.....

"Aku datang untuk pergi. Tunggulah aku-aku yang lain. Tangan dan kakiku bukan cuma satu meski aku sejatinya satu. Tetaplah berjalan. Jalani yang sudah berjalan dengan jalan yang lebih terjal. Kau harus mengambil jalur berliku, putar baliklah dan llihat, di belakangnya domba-domba di pecut. Cah angon mendalang tapi lupa."

Lalu gelap. Tanpa bentuk; tanpa rupa. Aku terlelap. Dan buka esok paginya.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.