Breaking

Andi Menunggu Shubuh dirumahnya

Pukul 4 lebih sebelas menit, adzan shubuh kudengar dari masjid dekat kontrakan. Andi adalah temanku. Aku, saat itu, telah selesai makan sahur. Kuberitahu Andi.

“Sudah adzan Shubuh,”

“Aku dengar,”

Andi menjawab cuek. Ia sedang menduduki kursi mini yang seharusnya diduduki adikku yang masih umur 4 tahun. Tepat didepannya, semacam mesin pemanas dengan tenaga listrik, ia pandang penuh harap.

“Nasinya belum masak, ya?” aku bertanya.

“Hmm..” Andi menjawab, terdengar seperti orang berdehem, tapi aku tahu kalau itu artinya iya.

Lampu warna merah dengan tulisan “Cooking” dibawahnya, kutahu, artinya masih proses memasak.

Suara ayam berkumandang. Beberapa cuit-cuit burung ikut menyambung. Tak lupa, suara temanku, terdengar dari toak Masjid, melantunkan pujian yang itu-itu terus setiap hari. Aku pernah bertanya padanya tentang pujian itu. Tebakanku saat itu, mungkin ia hanya hafal lirik pujian itu.

“Istiqomah,” jawabnya kala itu, dan tebakanku salah, sebab, ia hafal banyak pujian.

Seperti pujian, aku bertanya pada Andi tentang niatnya menunggu nasi yang masih jadi beras.

“Sudah Shubuh. Kau masih ingin menunggu nasi itu masak? Waktu sahur sudah habis,”

“Istiqomah.” celetuk Andi.

“Kau mengigau? Bukannya itu nama mantan pacarmu? Masih kau panggil juga,”

“Maksudnya, sekarang belum Shubuh. Hanya saat puasa Shubuh jam segini. Di rumah, Shubuh pukul lima.”

“Terus?” tanyaku sambil menggerakkan alis sebelah kanan sedikit ke atas.

“Ya, aku istiqomah pakai waktu adzan Shubuh seperti biasa. Pukul lima,”

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.