Breaking

Rumus Alamiah yang Ilmiah Menjadi Salah

Dua tambah satu adalah tiga, dan posisi angka tiga adalah sebuah konsekuensi dari penambahan kedua angka tersebut.

Sebuah ketentuan yang sudah pakem, yang sangat taat dengan aturan alam. Seperti phytagoras, hidup ini juga punya rumus yang alamiah. Maka, jika ada kerusakan, itu merupakan konsekuensi dari jawaban yang keliru. Nah, penyebab kekeliruan itu juga macam-macam rupanya.

Pertama, bisa karena cara menyelesaikan masalah yang salah. Nah, makanya, dulu, ketika menjawab soal-soal matematika, harus menyertakan rumus-rumus penyelesaiannya. Bagaimana jalan menuju jawaban, pengampu mata pelajaran masih melihat alur jawabannya. Bukan memilih A, B, C yang terkesan belajar berjudi, belajar mengundi nasib. Bahkan mana yang hasil cap-cip-cup dan yang benar-benar bisa, tak ada bedanya. Jika jawaban betul dan caranya salah, sang guru akan tahu kalau jawaban itu tidak benar. Makanya muncul nilai setengah benar. Itu bukan nilai atas jawaban yang benar tapi caranya salah, tapi nilai 'kasih sayang'. Nilai ini posisinya sebagai doa: sang guru berdoa secara khaliyah, dengan harapan si murid tidak patah semangat untuk mencoba dan bangkit dari keterpurukan. Orang sekarang menyebutnya apresiasi.

Kedua, cara mendapat jawaban yang salah. Misalnya cara merumuskan benar dan jawabannya benar juga, itu belum menjadi kriteria kebenaran dari jawaban. Kita, sebagai murid, masih dimintai pertanggungjawaban: darimana dapat jawabannya, apakah hasil dari proses sendiri atau menengok hasil temannya. Walaupun sang guru tidak menanyakan itu, murid jaman dahulu, akan punya rasa bersalah. Malu. Itu terjadi alamiah, sebab, sang guru benar-benar menjadi 'Rijal', menjadi kesatria dari 'Nisa', murid-muridnya.

Ketiga, rumusnya benar, jawabannya benar. Misal, 2+1=3, ini benar, tapi tidak mutlak. Bisa benar selamanya dan bisa salah suatu saat.

"Loh, gimana bisa salah? Kamu yang menyalahkanlah yang salah dan cacat berfikir? Itu sudah benar, alamiah dan ilmiah.  Aku menjawab sudah dengan rumus dan hasil yang benar!" Kamu akan memberontak begini, dan saya memancingmu dengan satu pernyataan lagi: kamu masih salah! Bisa di tebak. Kita akan bertengkar. Mempertahankan kebenaran yang sudah alamiah dan ilmiah. Jika kemudian saya mengatakan bahwa kamu salah karena menuliskan jawaban itu di buku temanmu dan lalu bukumu kosong, berarti saya, dalam hal ini, punya ambisi untuk 'mutlak' mencari kesalahanmu. Dan, kamu akan 'mutlak' menyalahkanku.

Inilah yang banyak terjadi. Ini bisa di sebut petarungan antara benar vs benar. Tentu, hasilnya adalah salah.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.