Menyapa Alam Gunung Penanggungan 1653 MDPL
Jumat, 14 - 15 Desember 2018
Semakin sulit perjalanan yang di tempuh, semakin piawai kita mengatasi masalah. Juga; semakin pandai kita membaca situasi.
*Reportase Pendakian*
Pukul 7 berangkat dari Telang dan sampai posko sekitar dua setengah jam setelah itu. Puncak MT. Penanggungan sudah terlihat. Sedikit greget dan ketir-ketir, bertanya-tanya bagaimana bisa sampai di 1653 MDPL. Jalan curam, bebatuan dan rumput-rumput liar membayang. Kadang menakutkan dan sebagian terasa menantang. 18 orang setengahnya cewek. Pukul tiga sore, hujan sudah menyapa dengan mendendangkan lagu-lagu ceria bercampur cemas. Dan, dengan cinta, hujan reda. Ia seperti memersilakan kami untuk mulai melangkah, merangkak, hingga bergelantungan seperti tikus main sirkus.
Misi utamanya, mengukuhkan keanggotaan anggota Magang LPM ALIPI angkatan 2018. Kau tau, sebenarnya, poin utamanya bukan saja tentang sumpah di puncak kelak, tapi sumpah itu sudah dimulai sejak pertama kali kita sama-sama sepakat untuk melangkah. Aku ingat ucapan Mas Istigar Prana, PU LPM ALIPI 2015-2016, ia mengatakan bahwa saat mendaki, kita bisa mengetahui sifat-sifat alami dari masing-masing individu. Tentang apakah seseorang itu individualis atau suka menolong; rela berkorban atau suka mengorbankan; pekerja keras atau pemalas; semangat atau suka mengeluh. Semuanya tergambar jelas.
Maka, pengukuhan itu adalah tentang rangkaian perjalanan. Ada step-step yang menjadi indikator sebagai bahan pertimbangan di masa mendatang. Seperti ibadah/sembahyang, ada rukun ibadahnya. Dan rukun pengukuhan itu adalah bagaimana kamu melangkah, meloncat, atau berlari saat naik-turun gunung.
Sepanjang perjalanan, tanaman lempuyang terlihat jarang-jarang. Rasanya yang pahit seolah-olah memberi gambaran: bahwa pahitnya dalam pendakian, tidaklah terus-menerus. Adakalanya pahit dan adakalanya tidak.
Sekitar pukul delapan malam, puncak bayangan tertakhlukkan. Empat tenda didirikan. Kali ini belajar betul tentang arti kesederhanaan. Ibarat rumah, satu tenda diisi empat sampai lima orang. Bertarung dengan dingin dengan tiga gelas kopi dan mie instan. Dan lalu menerka-nerka suasana puncak dengan imajinasi supranatural: mimpi. Bersama kerlipan bintang, juga puluhan bintang jatuh bersaksi, bahwa dingin sedang rindu untuk menyapa kita dengan kemesraan dan kedekatan.
Cericau anak-anak manusia dengan berbagai jenis dan motif kicauan terdengar sepanjang malam. Ada yang tertawa, mengaduh dan ini-itu jenisnya. Lampu-lampu kota Mojokerto dan sekitarnya membentuk pola yang indah. Agak jauh, satu panggung konser memainkan lampu sorot seolah ikut memeriahkan malam. Angin pun mulai membuat rumput melambai, menari.
Pukul setengah empat, saat kita sama-sama sibuk menyembunyikan kaki dan tangan dari gerayangan rasa dingin, waktu memaksa kita untuk bangun dan merasai dingin kesekujur tubuh. Kita saling sapa lagi dengan alam seutuhnya. Beberapa mencari toilet umum alami. Ya, semak-semak adalah toilet paling mewah saat itu dan tissue basah adalah alat ajaib untuk istinjak. Selesai memupuk semak-semak, kaki diajak mengenal batu-batu yang nempel pada tanah dengan kemiringan yang cukup curam. Sambil menahan ngilu pada tulang, di puncak terlihat bebatuan tersenyum dan melambai. Anak-anak manusia merayap dengan senter untuk penerang.
Baru beberapa jengkal, Melinda, calon Anggota Magang, terpaksa kembali ke tenda. Ini keputusan yang tidak mudah. Bukan tentang mampu-tidaknya untuk sampai, tapi soal kenal atau tidaknya diri kita dengan alam yang sedang bercengkrama. Dan ia kenal dengan alam saat itu. Berani memutuskan untuk tidak memaksakan kehendak adalah ketidakegoisan. Maka, ia telah terkukuhkan oleh alam saat itu. Karena pengukuhan seperti ibadah, maka jika tidak mampu berdiri, boleh sambil duduk, bahkan dengan berkedip-kedip.
Rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Ada mitos di Penanggungan, bahwa ada atau tidaknya kabut, bisa dilihat dari ramai arau tidaknya pendaki. Dan saat itu sedang tidak terlalu ramai. Sekarang kita benar-benar merasa kaki dan tangan tak ada bedanya. Berjalan merangkak seperti komodo. Tangan dan kaki sama-sama merasai kerasnya bebatuan. Satu rombongan dengan yang lain saling menyapa, sopan. Terlihat beberapa 'cinta' terselip dibalik cerita dari batu, tanah dan semak-semak. Ada yang baru, ada yang sudah terencana sebelumnya dan ada yang memang merangkak sejak awal bersama cintanya. Juga; insan-insan sepi ikut meratap dengan ratapan berbagai macam.
Hingga fajar merah semburat melukis langit, perjalanan kita masih separuh sebelum puncak.
"Lima menit lagi sampai puncak,"
Kalimat itu saban waktu menggetarkan membran telinga. Alih-alih penyemangat, ucapan itu adalah arti lain dari kalimat: sedikit lagi sampai puncak.
Setelah benar-benar melihat bendera Merah-Putih berkibar, kitapun akhirnya bisa memegang tiangnya.
Puji syukur, Gusti. Selain Cinta, hajat dua-tahun lalu, kini terbayar tuntas. Kita sampai di puncak, dengan anak-anak manusia yang masih bau kencur. Semoga, setelah ini, anak-anak bau kencur itu juga mengenal bagaimana bau apek, bau basin, bau wangi bahkan tahu pasti mana bau bangkai dalam dirinya masing-masing. Sehingga tahu juga bagaimana membaui dirinya, agar terbentuk pola-pola indah dengan birama kehidupan yang tidak menyakiti alam seisinya. Amiin.
Bangkalan, 16 Desember 2018
Em Ruddy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar