Merasa Sakit
gambar: pixabay |
Mungkin jumlah komentar setiap harinya di bumi pertiwi ini jumlahnya ratusan kali lipat dari jumlah mulut penduduk negeri. Bayangkan saja, satu orang bisa punya mulut lima: satu komentar di sini, satunya di sana, lainnya protol ke mana-mana.
Mulut ini telah terhegemoni dengan gencarnya pemahaman bahwa "setiap orang berhak menyampaikan aspirasi, baik kritik maupun saran, terhadap apapun". Padahal, seharusnya ada kesadaran lagi, bahwa hal itu harus dilandasi dengan kapasitas keilmuan yang memadahi dan cara main yang baik. Setidaknya paham tentang ilmu 'unggah-ungguh' alias tatakrama. Sebab, dalam hal apapun, ada akhlak yang harus dipatuhi, yang harus dijaga, agar manusia bisa dikatakan berbeda dengan binatang.
Saya mencoba menapaki beberapa media sosial, lalu duduk hingga dua jam, hanya ingin membaca komentar-komentar yang, mohon maaf, tidak mencerminkan 'perikemanusiaan'. Bukankah meskipun, misalnya, kita jelas-jelas lebih baik dari orang lain pun tetap tidak dibenarkan untuk meludahi orang lain. Nilai-nilai seperti itu ada di 'pagar' bernama akhlak yang berdasarkan perikemanusiaan. Ada akhlak kepada orang yang lebih muda, yang lebih tua, yang lebih tinggi derajat kemanusiaannya, bahkan akhlak kepada orang yang jelas-jelas menjahati diri kita.
Ketika saya coba membuka media sosial, saya pikir, dari ratusan juta komentar tak sedap itu, hanya mengulang-ulang komentar di hari kemarin atau mencomot komentar dari akun-akun lain. Begitu seterusnya. Bahkan, lebih buruknya lagi, hanya berisi ujaran-ujaran yang menimbulkan kebencian, yang sebenarnya tak pernah didengar oleh orang yang sedang dibicarakan. Sadar atau tidak, itu tak berguna. Itu adalah sampah. Kau tahu, itu juga di baca anak-anak yang masih labil, dibaca orang-orang yang sebenarnya tidak butuh untuk membacanya.
Melihat kenyataan jagat maya yang sedemikian parahnya, dengan legowo dan sedikit rela menelan rasa pahit, saya pikir kita harus segera merasa sedang sakit gigi, sakit mata dan sakit perut.
Dalam kondisi merasa sakit gigi, intensitas teriak-teriak kita akan berkurang. Bahkan lebih baik lagi, kita bisa legowo untuk nyingkreh, minggir, dari tempat-tempat yang ramai yang membosankan itu.
Kalau menyingkir, kita kalah dong?
Oh, nampaknya jika pertanyaan itu terlontar, maka sebagai ciptaan, sebagai mahluk yang tercipta dari belas-kasih Sang Maha Kuat, agaknya terlalu sombong jika hidup ini kita maknai dengan terus-menerus mengejar 'kemenangan' dan alergi terhadap 'kekalahan'. Toh, menang-kalah sama saja tidak akan mengubah wujud kita sebagai manusia: yang menang tidak akan menjadi tuhan meskipun banyak yang menuhankan, dan yang kalah tidak akan menjadi setan meskipun banyak yang menyebutnya setan. Bukankah yang siap kalah akan otomatis siap menang? Kalau hanya sekedar siap menang, ayam jago dan jangkrik pun bisa.
Jadi, menyingkir dari hiruk-pikuk ketidaksadaran atas kemanusiaan itu bukan berarti kekalahan, tapi bergerak membuat alur lain yang bisa mengalir lebih tenang, lebih santun dan lebih menunjukkan kebesaran hati. Sebab, kebesaran hati adalah penahan besarnya mulut ( jembare ati minangkani wates gumedheneng lati).
Sementara merasa sakit mata, setidaknya akan membuat kita sadar bahwa mata itu selalu tidak bisa melihat semuanya dengan sejujur-jujurnya; bahwa apa yang kita lihat pasti masih ada yang tertutupi walaupun satir itu sebesar kotoran mata. Juga, kita setidaknya sama-sama sadar bahwa, juga, ada sesuatu yang seharusnya tidak kita lihat. Itu bukan karena kita tidak mampu melihat, melainkan jika kita melihatnya, kita tidak mampu menerima dampaknya. Berdampak negatif.
Terakhir, merasa sedang sakit perut adalah solusi yang masuk daftar untuk menangani demam dan demen komentar ini. Tidak perlu naif, bahwa tak lagi sedikit, ujaran-ujaran kurang sesuai itu adalah demi kepentingan isi perut. Mungkin saja, jika kita sakit perut, nafsu untuk memakan makanan apapun (dalam bentuk apapun) akan berkurang, bahkan tidak ada sama sekali.
Jika merasa sakit ini diteruskan, sebenarnya juga perlu merasa sakit telinga, sakit jiwa dan sakit komplikasi alias pesakitan. Namun, hingga saat ini, yang perlu masih tiga jenis sakit itu. Setidaknya, tiga jenis sakit itu (sakit mata, gigi dan perut) masih mencukupi untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidaksadaran terhadap posisi kita sebagai manusia yang sudah seharusnya memanusiakan manusia lainnya.
Nanti, pada saatnya, kita benar-benar harus merasa menjadi pesakitan. Tidak hanya pesakitan yang mengeluhkan rasa sakit yang amat parah, tapi kita merasa benar-benar sedang sakit dan punya semangat untuk 'mertombo Ing Hyang kang agawe rasa', yaitu mencari dengan memohon obat sejati dari Yang Maha Memberi Rasa Sakit.
Terakhir, menurut saya kita sudah sama-sama sepakat bahwa 'kesatria' berperang tidak dengan punggung, tapi bertatap muka. Berhadapan langsung dengan sama-sama mencari 'apa yang benar'. Jika kenyataannya ada 'siapa yang salah', itu adalah akibat dari 'apa yang salah', dan bukan karena 'dia yang salah'. Melihat konsep itu, sebagai manusia yang merasa manusia, kita harusnya sama-sama empati terhadap 'apa yang salah' itu.
Selanjutnya, tugas bagi kita yang menemukan 'apa yang salah' adalah berani untuk mencari solusi. Atau, setidaknya, jika tidak berani untuk mencari dan melaksanakan solusi, setidaknya kita sama-sama menghentikan untuk menambah jumlah masalah.
Salam,
Rinduku untuk kamu semuanya
Bangkalan, 13 Maret 2019
Keterangan: tulisan ini telah disunting penulis. Sebelumnya, tulisan ini telah diterbitkan di majalah LPM ALIPI edisi Februari 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar