Breaking

Menuju Ke-Diri-an

gambar: pixabay

Ini adalah tulisan yang kubayangkan. Bahwa manusia tidak bisa sedikitpun lepas dari bayangannya sendiri. Dan bahwa nyatanya, bayangan itu, apapun warna lampu sorotnya, apapun cahayanya, bayangan akan tetap berwarna hitam.

Maka, kubayangkan dalam suasana malam di acara yang dinilai menjual ilmu hitam.

Aku datang dan yang kulihat hanya bayangan hitam. Untung sekali, mereka semua sudah menyadari akan dirinya sendiri yang warna bayangannya hitam.

"Bagaimana caranya agar bisa putih, atau setidaknya di sebut orang putih?"

Satu bayangan menanyakan itu pada bayangan hitam. Agaknya, itu adalah bayangan dari "ing ngarso", yang menjadi percontohan dari para jamaah bayangan hitam.

Ing Ngarso lantas menjawab, katanya, tidak perlu mencita-citakan menjadi putih jika kenyataannya kita adalah hitam. Kita harus lebih dulu menyadari dengan sebenar-benarnya sadar, bahwa kita adalah hitam. Maka, yang perlu kita lakukan setelah sadar akan kehitaman, selanjutnya berusaha agar kehitaman kita bisa membuat banyak putih.

"Toh, adanya hitam itu untuk membuat putih lebih terlihat." kata Ing Ngarso.

Ing Ngarso adalah warna hitam yang legam. Lebih legam dari yang lainnya. Bahkan, saking legamnya, warna putih kecoklat-coklatan, saat dekat dengan Ing Ngarso, bisa seolah-olah putih bersih.

Ing Ngarso rela mengorbankan dirinya. Kedalaman ilmu hitamnya telah membuatnya ikut berperan banyak tentang ilmu putih.

"Jadikan dirimu menjadi sehitam-hitamnya. Biarkan yang lain menganggapmu hitam legam. Lalu kamu bisa melihat mereka semua menjadi putih ketika di sekitarmu. Bersabarlah! Suatu saat, ketika kegelapan sudah musnah, hitammu adalah putih yang memancarkan cahaya lain hingga menjadi pelangi."

Ing Ngarso selalu mengatakan, bahwa nilai itu tidak boleh dilihat dari hasil perbandingan terhadap 'dia' (pihak ketiga). Nilai diri kita selalu berasal dari kesadaran terhadap diri kita sendiri (ke-diri-an). Alurnya, jika ingin menggali nilai kita, adalah alur internal. Melingkupi keutuhan diri sendiri. 

Sudahkah saat kita berjalan selalu menyadari ada kaki yang melangkah? Jika sudah sadar, baru kita bisa membicarakan 'jalanan'. Jalanan ini mewakili eksternal. Mewakili 'dia'.

Makanya, kalau ada jalanan berlubang, karena kita sudah punya kesadaran bahwa kaki kita itu melangkah, kita tak akan jatuh. Tak akan njlungup. Bisa menghindar, atau dengan tingkatan ilmu yang lebih tinggi lagi, kita bisa berhenti untuk menutup lubang itu, sebelum melanjutkan langkah. Tujuannya, agar yang berjalan di belakang tidak tersungkur karena masuk lubang.

Intinya, Ing Ngarso melanjutkan, apapun yang kita lakukan harus dengan kesadaran bahwa di dalam diri ada bagian yang bertugas melakukan. Dengan begitu, yang kita cari bukan 'dia' harus memberikan kepada kita, tapi kita sebisa mungkin memberikan kepada dia. Tidak perlu bingung mengontruksi diri untuk 'agar terlihat'. Sebab, efek dari menampakkan diri untuk 'agar terlihat' adalah manipulasi. Kepalsuan.

Bangkalan, 14 Maret 2019
Salam,
Rinduku untuk kamu semua

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.