Breaking

Mengenang Hening

Teruntuk keluargaku, Alipi.


Sajak Mengenang Hening

berjalan dari lorong
ceritakan senja kala itu
jalanan tersenyum, kaki penuh noda
cericau mulut tanpa duka

dua belas anak belia
mengukur panjang kisah serdadu
mengulik jemari menghitung rindu
menelusup pada petang gemerlap
goresan tinta petanda itu terjadilah

apakah mentari pagiku
gerangan tertutup awan hitam?
di mana, ah, indah ke mana?

cakrawala tiba
tak lebih dari kotak pensil
pengap kecil yang suram
kubuka lagi dengan suara sama

"dulu ini cerita rindu
pipi basah di sini
ada manis jua
amarah muncul kadang kala,"

kukuliti kotak pensil itu
lagi,... lagi,... lagi,...

"itu cerita di mana?"
tanyaku serak
kulempar mata tinggi
langit lewat. naik.
tinggi sekali
sajak rapalan doaku melambung
kuharap semua masih terhubung
kisahku
kisah kita

***
Manusia satu dan lainnya tak punya kemiripan. Tapi, ada satu hal yang masing-masing dari kita memilikinya: hati.

Aku ingin menulis catatan ini, entahlah apa maksudnya, tapi benar bahwa keramain paling bising adalah diam. Saat ini, saat aku sedang diam, kalianlah yang nyatanya paling ramai. Kalian sangat bising. Menjengkelkan, bukan?

Maka ingin rasanya kupinjam kata-kata Eka Kurniawan: seperti dendam, rindu harus dibalas dengan tuntas.

Kutuntaskan dendamku pada kalian, yang sangat naif teriak-teriak sebising ini, saat aku sedang benar-benar diam. Benar-benar sepi. Benar-benar seolah tiada kata apapun yang cocok untuk mewakili, kecuali kata "entah".

Sebagai ganjaran dariku, maka kupaksa kalian untuk merunut lagi kejadian malam itu. Kaliantahu, malam itu kita pertama kumpul di ruangan pengap yang lebih cocok kusebut kandang kambing. Ya, di ruang yang kini jadi sarang DPM-FP.

Kita sudah semester 3. Aku masih tidak suka mandi, ditambah rambut panjang yang kumal, dan celana bolong yang entah apa maksudnya. Celakanya, hingga kini aku benci air, lebih tepatnya aku benci mandi. Bodoamatlah!

Siapa yang pertama kali kukenal dari kalian? Tidak ada! Jujur itu. Aku tak se-kepo millenial kala itu. Bahkan, satu orang bentuknya mirip badut, yang rambutnya acak-acakan kayak sarang burung onta, dan bau tubuhnya tak lebih wangi dari kaus kakiku, dialah orang pertama yang kukenal.

Mengenalnya, kukira adalah musibah, tapi kayaknya juga cocok disebut berkah. Ah,.. Dia tetap menjengkelkan sampai sekarang. Dan kalian lebih menjengkelkan lagi.

Kaliantahu, ternyata tak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan mengingat kebisingan kalian. Babi, kalian! Saat seperti ini, enteng sekali ingatan bakar-bakar di depan GP mengusik kantukku.

Apakah kayu bakar saat itu kurang? Apakah ubi saat itu, yang juga tidak kalian makan, masih kurang? Apakah tebakan-tebakan unfaidah itu masih ada yang berfaidah? Mahluk bgst!

Ada lampu warna kuning tepat di atasku saat ini. Dan aku tak yakin kalian masih melihat lampu sekarang, kecuali keruwetan klasik soal menangkal pertanyaan-pertanyaan para follower ilegal, baik dari kelurga, teman, atau tetangga. Rasakan! Rasain. Itu ganjaran kalian. Puas rasanya, punya bahan untuk membayangkan siksaan kalian. Ingin rasanya, mendengar kalian saling menjerit. Lebih ingin kudengar jeritan itu langsung. Sudah gatal telinga ini menyiksamu.

Ke sinilah!

Ada berita duka yang membahagiakan; ada berita gembira yang menyusahkan.  Atau kelak saja, kita rangkai kelucuan yang entah datang dari mana, atau tak pernah sama sekali, sebab nasib sudah selesai.

Em Ruddy
Bangkalan, 27 Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.