Breaking

Kompetisi dan Sulapan

gambar by: shutterstock

Duduk diantara orang-orang yang penuh kerinduan akan senyum yang benar-benar senyum. Pikirku, ternyata sudah banyak orang yang bosan dengan gemerlapnya sorot-menyorot yang menyilaukan, yang selalu memerlihatkan ketidakjelasan.

Maka, sebuah kata yang dilontarkan oleh Pak Kyai malam itu menjadi inspirasi utama dalam tulisan ini. Beliau mengatakan kata 'kompetisi' alias perlombaan.

Panjang-lebar beliau menjajarkan kata. Kulihat, beberapa orang lupa untuk mendengarkan perkataan beliau. Mimik wajah itu, jika kuterjemahkan, begini bunyinya: "Gak menarik ucapannya,"

Maka, karena kedatanganku dengan janji ngatong, 'menengadahkan tangan', kuputuskan menekuni kata-perkata yang beliau ucapkan. Begitulah kisahnya, hingga kudapatkan kata itu. Menambahkan saja, bahwa sesuatu yang kita dengar saat ini, jika kita merasa itu tidak bermanfaat di masa mendatang, perasaan itu adalah bagian dari kesombongan. Apapun itu, meskipun suara sampah yang bergesekan dengan tumpukan sampah-sampah yang lain, pasti ada sisi baik yang bisa kita petik. Intinya, ada harga dibalik ketidakberhargaan.

Fastabiqul khoirot sering kita dengar. Dan itu menjadi semacam kata-kata yang jamak dijumput untuk dalil agar kita semangat berkompetisi. Namun, dalam setiap mulut yang mengungkapkan kalimat itu, aku melihat yang paling ditekankan adalah "fastabiqul" alias berlomba. Sedang sangat jarang kulihat penekanannya pada kata "khoir" alias baik.

Kata "khoir" di sana merupakan isim makrifat, artinya, kebaikan yang menjadi dasar sudah ditetapkan. Dan sifatnya spesifik, bukan kebaikan yang general, atau umum. Hemat saya, itulah kebaikan Allah.

Apa akibatnya jika "Fastabiqul" menjadi sesuatu yang paling ditekankan?

Kita bisa sinau bareng tentang ini. Dan apa yang saya tulis bukan hal yang mutlak. Maka, ini hanyalah opini tentang bagaimana melihat realita yang terjadi.

Begini,

Saya masih ingat ketika sekolah Madrasah Ibtidaiyyah. Tiap catur wulan, sekolah mengadakan lomba kebersihan. Maka, kami satu kelas akan memoles kelas kami dengan seindah-indahnya. Tentu, ukuran keindahan itu adalah keindahan bagi anak-anak.

Kemudian, setelah juri, dalam hal ini bapak/ibu guru memberi penilain dan mengumumkan hasilnya, kelas kami yang tidak pernah menang sekejab menjadi kotor, bahkan sangat kotor.

Saya menangkap itu adalah ekspresi kekecewaan.

Namun, yang lebih membahayakan adalah mental tentang "akan menjadi baik hanya ketika ada lomba atau kompetisi".

Itulah pelajaran yang kami dapat.

Hingga kuliah, itu banyak terjadi. Ketika proses akreditasi kampus, dalam sekejap semua hal yang menjadi elemen penilain akan bagus. Meskipun tetap ada bedak-bedak manipulasi: dipandang bagus, kenyataannya tidak.

Keadaan itu juga dialami mahasiswanya, di mana semangat belajar bisa terpompa karena ada jaminan "upah prestasi". Itu tidak sepenuhnya jelek, tapi itu telah membuat darah dalam daging menerjemahkan perilaku bahwa "kebaikan dilakukan karena iming-iming hadiah". Hal seperti itu menyebabkan "Sulapan-Sulapan" yang dalam sekejab merubah yang jelek menjadi sesuatu yang bagus, bahkan spektakuler. Namun, namanya sulapan, hanya untuk hiburan dan pasti sesaat saja. Itulah yang terjadi, kebaikan di sulap dan dibedaki.

Wedus diwedaki sampek ayu lan ganteng. Padahal, wedus seng menurute wedus iku apik, iku wedus seng ora wedakan. Maka, wedak gawe ukuran ganteng/ayune iku nggawe ukurane menungso. Sementara kewan lan menungso nduweni ukuran dewe-dewe.

Sebagai manusia, secara alami sebenarnya tubuh, hati dan fikiran kita secara otomatis akan cenderung memberi dukungan pada kebaikan. Walaupun menjadi maling sekalipun, jika di depan matanya sedang ada pembunuhan, hatinya yang paling kecil akan teriak memberontak. Itu alamiah.

Usia 40 hari sejak sperma dan indung telur menikah, Allah telah 'meniupkan' ruh kepada kita. Dan ruh itu tidak akan musnah sama sekali. Mungkin, itulah bibit kecenderungan kita terhadap kebaikan.

Sekian,

"Seperti mentari, bersinar tak mengharap tersinari. Itulah ikhlas."
*Terinspirasi dari penjelasan Kyai Muzammil, di acara BangbangWetan 22 Maret 2019.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.