Pralaya Dharmo
Gambar by Pixabay |
Jalan-jalan yang keruh dan malam yang larut membuat
binatang-binatang malam enggan tersenyum. Keramaian tanpa isi menjadi dosa-dosa kecil yang terus
bertumpuk, menjadi gundukan yang sebentar lagi menjadi gunungan. Gunung yang
tak bisa meletus, yang laharnya dimuntahkan melalui lubang-lubang kecil milik
orang lain.
Keramaian yang paling sepi. Sepi mencengkam. Menakutkan!
Tetiba pada lembah-lembah harapan, bermunculan kalimat-kalimat
tangis , kemudian terdengar jeritan-jeritan dari jurang sekeliling. Mata yang
lelah. Boneka-boneka lucu dibuat dan dibuat-buat. Lucunya, buatannya.
Satu juta penduduk baru beranjak, menoleh ke kanan-kiri,
depan-belakang, atas-bawah. Mereka mendapati kekosongan. Dirasa telah sudah,
nyatanya masih belum; dirasa telah sampai, mulaipun tidak; oh, kemana kelakar
sore yang diceritakan itu?
Apabila benar, sekurang-kurangnya ada jejak para melata di
atas tanah-tanah kita. Petanda yang dirindukan sebagai percikan senyum, walau
satu-dua petikan.
Kalimat yang ditinggikan masih menjulang dengan tegak dan
tegas. Ia menangis, kadang tersenyum, melihat semut dan rayap beradu mulut, dan diantara mereka
beberapa pasang mata tertawa.
Bagaimana bisa meraih esok jika hari ini tak pernah selesai?
Kabel-kabel penyalur tegangan ditancapkan ke mana saja. Alur-alur
semrawut telah mumtaz dianggap rapi.
Semua, serba ‘entah’. Dharma sampailah menjadi pralaya.
Pralaya di dharma-dharma-kan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar