Breaking

Pandemi Gupuh, Suguh dan Lungguh

Masyarakat Jawa punya falsafah Gupuh-Suguh-Lungguh ketika ada tamu. Gupuh atau terlihat (seolah-olah) kebingungan adalah salah satu bentuk respon awal. Dan merupakan cara penghormatan terhadap tamu.

Setelah itu, tetap sambil gupuh, akan terlihat kerepotan untuk menyiapkan suguh atau sajian, sambil mempersilahkan untuk lungguh atau duduk.

Jangan salah. Setelah itu, kita bisa melihat percakapan dengan tamu yang gayeng, renyah. Kita bisa melihat keharmonisan yang penuh dengan keindahan.

Dinamika pasti terjadi. Jika tamu serius, ahlul bait akan serius pula. Dan begitu sebaliknya. Ilmu menyeimbangkan komunikasi merupakan keahlian yang sejak usang menjadi kebiasaan. Masyarakat akan lebih merendah hatinya, jika lawan bicara merendah.

***
Awal tahun 2020 ini, tamu datang tanpa diundang. Saya melihat masyarakat Jawa menggunakan ilmunya. Seolah-olah kebingungan terjadi di mana-mana. Di dunia maya, bahkan sudah terlihat pergerakan khalayak ramai, repot-genteyot menyiapkan suguh (masker, disinfektan, handsanitizier, dan lain-lain).

Selanjutnya, secara terang-terangan, Virus Covid-19 menduduki tanah ini pada April 2020. Ini terlihat karena sudah banyak orang menjamunya. Hingga membersamai dengan penuh kegelisahan. Perjalanan masih lanjut hingga kini, Mei 2020, bersamaan dengan bulan Ramadlan yang melimpahkan banyak kemuliaan.

Tamu tetaplah tamu. Meski tak diundang, kewajiban tuan rumah adalah memberikan penghormatan. Tapi bertamu ada etikanya. Jika bertamu lebih dari tiga hari, maka jadilah tamu yang biasa saja. Artinya, diperlakukan seperti halnya penghuni rumah lainya. Ini dilakukan karena tamu dianggap telah memahami kondisi tuan rumah. Mulai dari kerepotan harian, sifat, dan aspek-aspek kemampuan dalam mengistimewakan (penyambutan). Juga, ketika tamu tidak berbicara dengan baik, bertingkah yang menyakiti hati, maka tuan rumah tidak akan segan-segan mempersilahkannya untuk pulang.

Silakan pulang! Kami sudah bosan!

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.