Breaking

Perebutan Penjara Makan Malam

Satu jam lalu di Telang, Bangkalan, hujan agak lebat. Sekarang hanya sisa rintik-rintik. Tak ada suara sepeda motor, tak ada suara orang mendongeng tentang permainan kuda lumping. Nihil.

Tetesan ini, air yang turun dari genting, suaranya makin nyaring. Sial, tetiba, aku mengingat peristiwa pembunuhan seorang kawan dari latar '65.

"Ya, persis seperti ini mencekamnya," aku membatin.

"Di ruang dua kali tiga, kami disiksa. Seorang ibu menggendong bayi merahnya. Ibu menangis, punggungnya berdarah-darah. Mungkin si jabang bayi sudah lupa rasa asi dan darah ibunya," begitu aku mengingat ia bercerita.

Aku meloncat begitu saja. Rasanya, tepat di bawah kursi ada tangan yang menarik bajuku. Lalu, seekor nyamuk datang dan menancapkan jarum suntiknya di muka. Telingaku mendengar ribuan nyamuk datang. Dalam sekejap, sekujur tubuhku di hajar nyamuk kanibal.

Kubuka mulutku, barang kali dua atau tiga puluh nyamuk bisa kukunyah sampai lembut. Tapi tidak begitu. Saat mulutku terbuka, ribuan nyamuk itu merangsek masuk tenggorokanku. Aku mulai merasa sangat mual. Di perutku, rasanya usus-usus sudah mulai bocor.

"Bajingan!" Umpatku, sambil berusaha untuk berdiri.

Tembok-tembok yang putih, tiba-tiba retak dan muncul tangan-tangan warna hitam dengan kuku panjang yang jorok. Aku benar-benar tidak mencium apapun kecuali bau bangkai. Mataku sudah merabun. Ruangan ini seolah-olah bergerak semakin mengecil. Nafasku mulai sesak.

Kini paru-paruku rasanya sakit. Nyamuk di dalam tubuhku telah beranak Pinak. Mungkin ada yang melahirkan seekor biawak. Kautahu, kuraba perutku terus membesar. Membesar lagi. Ah, mungkin bukan biawak, tapi sudah ada yang menetaskan burung gagak.

Sekuat-kuatnya kutekan perutk. Tangan-tangan hitam itu memegangi kaki sangat erat. Aku telungkup. Tembok, plafon, kursi, meja, dan apa saja yang ada di sekitar ikut menumpuki tubuhku. Tulangku satu persatu remuk. Tubuhku menjadi kebun binatang.

Dua ekor gagak melahirkan sepuluh anak sapi sekaligus. Seekor nyamuk berhasil pura-pura menjadi banteng yang besar dengan kaki berotot.

"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanyaku.

"Aku dibebaskan dari tempat penyiksaan itu. Betapa terkejut ketika kudapati di luar telah menjelma menjadi penjara yang lebih besar," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

"Sebentar! Apakah seekor nyamuk bisa melahirkan biawak, dan biawak bisa melahirkan burung gagak, dan burung gagak bisa menetaskan sepuluh sapi sekaligus?" Cecarku.

Ia pergi begitu saja. Sebelum lenyap, suaranya pelan menjawab: bahkan seekor nyamuk bisa menjadi seekor banteng yang gagah. Sambil congak dan mengendus-endus, ia bisa menghisap apa saja.

Sungguh sangat senang mendengar jawaban itu. Perlahan. Kututup mataku. Urat-urat pada otot melemas. Aku melayang-layang di langit memetik keindahan bintang di atas awan yang hitam. Dari jauh, aku tersenyum melihat sebuah bangkai dikeroyok binatang-bintang tanpa ampun. Terkoyak bangkai itu dengan tanpa perlawanan.

"Makan saja bangkai itu. Dan teruslah dalam penjara," kataku sambil tersenyum.

Bangkalan
Em,
14/4/2020

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.