Breaking

Permasalahan Hidup dan Tahap Memaafkannya

Aku pernah dalam kondisi frustasi. Stres perihal pendidikan. Kawan-kawan seangkatan udah pada lulus. Sementara aku masih menyisakan beberapa mata kuliah dengan nilai memperihatinkan: E.

Memikirkan skripsi dan PKL, juga biaya hidup dan tanggungan UKT, semakin membuat hidupku penat. Stres hingga terasa otakku tak ada gunanya. Yang kupikirkan tidak bisa membantu masalahku. Aku tetap merasa menjadi benalu. Menjadi seonggok daging yang menyusahkan.

Itu berlangsung lama, kawan-kawan. Satu tahun lebih. Aku hidup nomaden. Tempat tinggal siapapun yang boleh kutempati gratis, aku di sana. Bahkan satu semester kulakukan tidur di sekretariat organisasi intra kampus, yang lebih cocok disebut gudang. Kalau diusir, pindah lagi. Makan? Kebanyakan masak sendiri, memasak beras yang selalu dibawakan orangtua dari rumah. Itu pun alat masak dan listriknya numpang!

Kalau ada uang, baru beli makan. Itu pun harganya tidak lebih dari tujuh ribu. Mulut dan perutku sudah karib degan makanan gak enak.

Pernah suatu ketika, pada masa libur semester enam, aku tidak pulang karena tidak ada uang sama sekali untuk pulang. Pulang tanpa sepeser uang, itu sama aja membuat orangtua sedih. Itu nggak mungkin kulakukan. Alih-alih alasan kegiatan kampus,  aku hanya diam di dalam kamar. Tanpa sepeser uang, dua hari tanpa makan. Hanya minum air galon. Tapi yang lebih tragis, hal seperti itu terjadi berkali-kali. Jika saat kuliah aku sakit, bisa dipastikan, aku tidak makan. Kelaparan.

Karena tergolong orang yang tidak suka menceritakan penderitaan, hal itu kupendam sendiri. Satu kalimat yang selalu menguatkanku: bahwa Tuhan pasti bertanggungjawab atas semua kehidupan.

Semuanya telah berjalan. Aku bertemu dengan orang-orang yang menolong. Dan Tuhan menolongku melalui mereka.

Mulai menjadi editor dan penulis di media swasta lokal, lalu keluar karena merasa berdosa dengan mengedit dan menulis konten-konten berisi promo pencitraan pejabat publik yang sebenarnya bengis perangainya. Sebelum itu juga pernah jualan kopi dipinggir jalan. Lalu bangkrut dan tidak bisa melanjutka, hingga uang saku pribadi ludes dan masih menyisakan hutang di sana-sini.

Tidak berhenti di situ. Untuk menyambung hidup, aku bersama temanku pernah jualan rempeyek. Itu pun modalnya hutang. Meski tidak banyak laba, tapi cukup untuk makan sehari sekali. Jualan rempeyek berhenti karena alat kami hilang dicuri orang.

Pada pertengahan 2019, aku dan temanku bertemu dengan seorang tentara asal Sumenep. Dia sedang jualan sepatu dan sendal impor. Kami lalu menjualkan dagangannya. Lagi-lagi, kami gulung tikar. Jualan ternyata tidak semudah apapun yang dibayangkan.

Dalam proses manata kembali hidup, kujajaki kembali perjalanan demi perjalanan. Kujajaki kembali apa-apa yang pernah kulakukan. Ternyata ada satu masalah yang tidak pernah kusadari: bahwa aku tidak menghargai diriku.

Penghargaan itu bisa berupa tidak kumanfaatkan keahlianku; bisa berupa melakukan sesuatu yang menyiksa diriku. Memang benar, tubuh kita perlu di tempa. Perlu dilatih tahan banting. Tapi, akan sia-sia, bukan, jika penempaan itu terjadi pada tempat yang salah?

Itu seperti petinju menaiki arena balap motor. Selain konyol, dia tidak akan bernilai istimewa.

Maka sebagai petinju jalanan, kunaiki ring yang menjadi skil atau keahlianku.

Aku lancar komunikasi. Aku lancar berkawan dengan siapa saja. Aku tidak gampang tergesa-gesa. Dan sekarang, aku lebih tenang lagi.

Kumaafkan masa laluku. Kuletakkan kegagalan itu di tangan dan kakiku sebagai batu loncatan. Lalu memulai segalanya dari awal, sambil lalu membereskan tanggungan-tanggungan piutang yang ada di mana-mana itu. Sebagai laki-laki sekaligus pemuda, darah segar pengembara dan pendobrak mengalir dalam diriku.

Aku menukil maqolah Imam Ghazali. Merantau akan membuat kita mendapat banyak ilmu dan keutamaan. Ini menarik dan aku puas lima tahun diperantauan. Toh, sejak awal aku sudah siap dengan segala rintangan. Kutulis dalam doa, beberapa tahun silam dalam "Sajak doa derita"

Tentang apa yang kulakukan sekarang, nanti akan kulanjut ceritanya tahun depan.

Terima kasih, segala cobaan yang membuatku tertempa. Terima kasih semua kawan yang mengajariku kehidupan. Terima kasih kerasnya hidup yang membuatku lebih waspada. Terima kasih cinta, yang mengajariku kegembiraan. Terima kasih semuanya.

Nganjuk, 6 Agustus 2020
Em Ruddy

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.