Menakar Buje
Menakar Buje
“Tidak ada kegelapan. Di fisika pun, gelap adalah efek dari
benda 'gelap' yang menghalangi cahaya. Cahaya mampu menembus, membias,
memantul, bahkan terhalang. Dan sudah barang lumrah, dzun nurain
itu terhalang, terbias, tertembus bahkan terpantul. Tergantung kedatangan itu
sebagai mahluk apa. Jika mahluk bening, kamu menembus; jika mahluk mengkilap
(sudah memiliki elemen cahaya), kamu memantulkan; jika mahluk yang gelap, kamu
menghalangi (tak dapat melihat cahaya).”
Sejak 2015 lalu, saya kategori
anak yang rajin menjajaki warung kopi. Banyak orang mengatakan kehidupan saya sangat
suram, jauh dari kata kemapanan, meski ada yang berkata sebaliknya. Sebagai
anak baru gede, saya pikir anggapan orang itu tidak sama sekali akan menjadi
masa depan, jikapun toh benar, peran takdir lebih saya percayai. Maka, dengan
sungguh tidak ragu, hingga 2019 ini aktifitas saya tetap begitu-begitu saja,
yaitu kuliah, ngopi, ngobrol dan membual tentang apapun.
Dalam perjalanan di warung kopi,
saya memiliki banyak cerita yang biasa saya bualkan kepada siapa saja yang haus
hiburan. Mulai cerita seorang anak yang mati gegara makan tahu yang isinya
racun tikus, hingga seorang pejabat yang mati kecapekan setelah bergoyang; juga
terkadang saya pura-pura menceritakan nasib seorang anak yang lebih cepat mati karena
banyak bersedih. Dengan begitu, tidak lama kemudian saya bisa melihat
orang-orang mengangguk-angguk, itu saya sebut ‘anggukan penyemangat diri’.
Alhamdulillah, sebagai orang jawa tulen, saya merasa beruntung bisa
kuliah di Madura. Selain berhasil mencari bukti istilah ‘cangkir ngudek sendok’,
saya berkesempatan jalan-jalan di sebelah barat Bangkalan pada suatu malam. Di
sepanjang pesisir pantai utara itu, petang menjadikan semua serba remang-remang
tak jelas. Saya merambat pelan, seperti cacing, terus berjalan mengikuti
nurani, dan memang selama ini saya hanya mengikuti nurani, meskipun masih ada
yang bilang saat saya tidak sedang bisa berkompromi dengan apapun, mereka
bilang saya tak punya nurani.
Sebagai manusia, lumrah sudah
jika memikirkan apapun yang telah, sedang, dan akan menjadi. Maka, kegelapan
dari arah barat jalan itu telah membuat saya bertanya-tanya, bahwa sesungguhnya
apa yang seharusnya sedang saya lakukan di pesisir ini? Jika terus-terusan di
tempat gelap begini, apa yang akan terjadi?
Dalam ilmu fisika, yang dikenal hanya
cahaya. Sedangkan gelap didevinisikan sebagai bayangan, yang timbul akibat
cahaya yang terhalang. Maka sambil merambat pelan-pelan, mata saya celingukan
ke sana – kemari, mencari-cari sebuah ‘apapun’ yang membuat bayangan hingga
menutupi kawasan sebesar ini.
Hamparan laut sepi nelayan, ikan-ikan
menanyakan kail akibat kelaparan dan krisis pangan.
“Tak apa aku mati terjerat pancing,
asal ada umpan yang bisa kusisakan untuk anak-anakku,” kata ikan itu.
“Plangton, hewan-hewan kecil yang
biasa kalian santap, kemana saja?” tanyaku.
Ikan itu, tak lama, puluhan, lalu
ratusan dan entahlah berapa banyak, berkerumun saling mencari kehangatan. Salah
satu dari mereka, ia berkata: ”hewan kecil, dan apapun yang kecil, dan apapun
makanan lainnya, telah habis dihabisi. Punah.”
“Jika mulutmu terjerat pancing,
kaupun punah. Mati!”
Entahlah. Suara ombak yang bohong
dengan kondisinya sendiri.
Bersambung..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar